PENDAHULUAN
Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmi-ilmu ke Islaman , tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini.
Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.
Ada beberapa metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah metode Tafsir Al-Aqli Al-Ijtihadi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tafsir bil al-ra’yi (tafsir berdasarkan pikiran). Tafsir ini juga disebut tafsir bi al-‘aqli, tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul. Tafsir bi al-ra’yi sering dipergunakan oleh para mufassir untuk melegitimasi mazhabnya sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan mazhabnya.
Metode tafsir yang lain yaitu tafsir Al-Isyari atau tafsir berdasarkan indikasi. Dalam hal ini akan akan kami ketengahkan definisi tafsir AL-Isyari, syarat-syartanya, contoh-contohnya, beberapa perdebatan ulma’ tentang tafsir tersebut. Begitujuga Analisis Mengenai Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari.
PEMBAHASAN
TAFSIR BI AL-RA’YI (TAFSIR AL-AQLI AL-IJTIHADI)
Pemahaman makna ayat berpedoman kepada penjelasan Al-Quran, Sunnah Rasulullah atau keterangan sahabat, selain itu juga dilakukan dengan kemampuan yang ada pada akal melalui ijtihad. Ra’yu berasal dari kata ra’aya, yang berarti melihat dengan akal pikiran, ra’yu dapat juga diartikan sebagai berikut:
Qiyas, hal ini dikarenakan orang-orang yang sering mempergunakan qiyas disebut Shahibul Ra’yi, yaitu orang-orang yang suka menggunakan qiyas (analogi) dalam berdalil, karena mereka tidak menemukan dalil, karena mereka tidak menemukan nash (hadist atau atsar).
Al-Ijtihad, arti inilah yang dimaksudkan dengan ra’yu dalam makalah ini. Oleh karena itu tafsir bi Ar-Ra’yi sering juga disebut dengan tafsir bi Al-Ijtihad, atau tafsir Al-Ijtihadi, yaitu penafsiran dengan mengguakan ijtihad.
Tafsir bil al-ra’yi (tafsir berdasarkan pikiran) ini juga disebut tafsir bil ‘aqli, tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul bagi mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tabi’in. Sandaran mereka adalah bahasa arab, budaya arab yang terkandung di dalamnya, pengetahuan tentang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains yang amat diperlukan oleh mereka yang ingin menafsirkan Al-Quran . Para ulama mengajukan beberapa defenisi yang agak berbeda mengenai tafsir bi Ar-Ra’yi, sebagaimana yang dikutip berikut ini:
Menurut M. Aly Ash-Shabuny: “Tafsir bi Ar-Ra’yi adalah Ijtihad yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, biasa diikuti dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir al-Qur’an atau mendalami pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendak sendiri.”
Menurut Manna’ al-Qaththan: “Tafsir bi al-Ra’yi adalah metode penafsiran yang dipakai oleh mufassir dalam menerangkan makna yang hanya berlandaskan kepada pemahamannya yang khusus dan mengambilnya hanya berdasarkan pada akal saja, dan keterangan tersebut tidak didapat dari pemahaman yang berjiwa syari’ah dan yang berdasarkan kepada nash-nashnya.”
Dari pengertian yang dikemukakan oleh kedua tokoh di atas memang terlihat perbedaan persepsi mengenai defenisi tafsir bi al-Ra’yi itu sendiri, yang pertama memberikan kesan positif terhadap tafsir bi al-Ra’yi dan menerangkan bahwa tafsir bi al-Ra’yi tidak hanya sekedar buah pikir mufassir itu sendiri tetapi juga berdasarkan kriteria-kriteria lain yang harus dipenuhi, sementara pada pendapat yang kedua memberikan pengertian yang sempit terhadap tafsir bi al-Ra’yi yang memberikan stressing mark pada pemakaian akal semata tanpa memberikan criteria yang lain.
Namun bila diteliti lebih jauh dapatlah difahami bahwa tafsir bi al-Ra’yi adalah menafsirkan al-Qur’an dengan berdasarkan pada pendapat ataupun ijtihad, dan tidak berdasarkan pada apa yang dinukilkan oleh sahabat atau thabi’in, dengan memperhatikan kaidah bahasa arab.
Perlu dijelaskan bahwa meskipun para mufassir bi al-Ra’yi ini melakukan penafsiran berdasarkan pemikiran, namun bukan berarti mereka hanya mengandalkan kemampuan rasio semata, malah mereka dituntut untuk tidak sekedar memahami nilai-nilai yang dikandung al-Qur’an dan sunnah tetapi juga harus memiliki kualifikasi tersendiri, agar tafsir yang mereka kemukakan bisa diterima kredibilitasnya.
Adapun syarat-syarat mufassir bi al-Ra’yi ini diantaranya:
1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan seluk beluknya.
2. Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an
3. Menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an, seperti Hadits dan Ushul Fiqh.
4. Beraqidah yang benar.
5. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6. Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok-pokok agama Islam.
7. Menuasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
Kriteria-kriteria diatas haruslah dipenuhi para mufassir, agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Sementara itu Dr. Ali Hasan al-‘Aridh menambahkan mengenai 6 hal yang harus dihindari oleh Mufassir bi al-Ra’yi yaitu:
1. Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah (otoritas Allah semata).
3. Menafsirkan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4. Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya
5. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab, dengan cara menjadikan faham mazhab sebagai dasar, sedangkan penafsiran mengikuti paham mazhab tersebut.
6. Menafsirkan dengan disertai memastikan, bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian, tanpa didukung oleh dalil.
Selama mufassir bi al-Ra’yi memenuhi persyaratan dan menjauhi keenam hal tersebut, dibarengi pula dengan niat dan tujuan yang ikhlas karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dikatakan rasional. Namun bila ia tidak memenuhi kriteria diatas berarti ia telah menyimpang dan oleh karena itu penafsirannya ditolak.
Di samping persyaratan diatas, tafsir bi al-Ra’yi juga harus sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kesesatan dan kebodohan, serta bersandar pada sesuatu yang wajib dijadikan sandaran, sandaran yang harus dipedomi tersebut yaitu:
1. Naql dari Rasulullah, berpegang pada hadits-hadits yang bersumber dari Rasulullah SAW, dengan ketentuan ia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu).
2. Perkataan sahabat, berpegang pada ucapan sahabat nabi, karena yang mereka ucapkan menurut peristilahan hadits, hukumnya mutlak marfu’ (shahih atau hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbab an nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri oleh ra’yu.
3. Berpegang pada kaidah bahasa Arab, dan harus senantiasa berhati-hati untuk tidak menafsirkan ayat-ayat yang menyimpang dari makna lafadz yang semestinya
Pembagian Tafsir Bi Al-Ra’yi
Para ulama tafsir mengklasifikasikan tafsir bi al-Ra’yi kepada dua yaitu:
Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud, yaitu suatu penafsiran yang berdasar dari al-Qur’an dan sunnah Rasul, sedangkan pelaku atau mufassirnya adalah seorang pakar dalam bahasa Arab, baik gaya bahasanya, maupun kaidah-kaidah hukum dan ushulnya. Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud ini sesuai dengan tujuan syara’, serta jauh dari kejahilan dan kesesatan. Tafsir semacam ini selayaknya disebut tafsir yang terpuji atau tafsir yang syah.
Adapun mengenai hukumnya, para ulama membolehkan jenis tafsir ini, dengan mengajukan beberapa alasan, diantaranya:
1. Firman Allah:
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
serta ayat-ayat lain yang mengajak untuk mentadabburkan al-Qur’an.
2. Do’a Rasulullah terhadap Ibnu Abbas: “Ya Allah fahamkanlah dia mengenai agama dan pandaikanlah dia dalam ta’wil”. Hadits ini menunjukkan keistimewaan yang dimiliki Ibnu Abbas yang mampu menggunakan Ijtihad dalam penafsirannya.
3. Argumen yang menyatakan bahwa bila tafsir bi al-Ra’yi tidak diperbolehkan maka banyak sekali hal-hal yang nantinya tidak mempunyai hukum, karena tidak dibolehkannya berijtihad padahal Rasulullah SAW menjanjikan bahwa orang yang berijtihad mendapat pahala.
Tafir bi al-Ra’yi al-Mahmud ini dibolehkan karena mufassir menafsirkan ayat dengan memenuhi segala kualifikasi dan sesuai tujuan syar’i ditambah dengan ijtihadnya sendiri
Tafsir bi al-Ra’yi al-Madzmum, yaitu penafsiran dengan tidak disertai ijtihad, tetapi disertai hawa nafsu. Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan pendapat dan keyakinan mereka, sehingga penafsiran itu membawa kepada arah pemikiran yang kosong, ditafsirkan tanpa ilmu hanya menuruti kehendak dengan tidak mengetahui dasar-dasar bahasa dan syari’at. Tafsir semacam ini disebut dengan tafsir yang tercela atau tafsir palsu.
Hukumnya adalah haram. Dalil-dalil yang menunjukkan keharamannya cukup banyak, diantaranya :
Firman Allah SWT, didalam surat al-Isra’: 36 yang berbunyi:
•
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
Contoh Ayat Yang Ditafsirkan Menurut Tafsir Bi Ra’yi
Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud
Salah satu contoh penafsiran bi al-Ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh imam al-Mahalli dan imam as-Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “Tafsir Jalalain”, mengenai surat al-Isra’ ayat 85:
85. Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Imam al-Mahalli menafsirkan kata “ruh” bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka manusia bisa hidup. Kemudian imam as-Suyuthi memberikan penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah lebih baik.
Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi yang ringkas maka kedua mufassir tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Madzmum
Penafsiran yang diriwayatkan dari sebagian orang bodoh yang mengaku alim dalam menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla
• •
Pada hari (kiamat) Kami panggil tiap-tiap manusia denngan imannya .
Menurutnya bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah: Allah memenggil manusia pada hari kiamat dengan nama ibunya karena hendak menutupi mereka.
Orang bodoh tadi menafsirkan kaliamat “Al-Iman”dengan kalimat “Al-Ummahat”. Dia mengira bahwa kata “Al-Iman” merupakan bentuk jamak dari kata ”Al-Ummu”. Padahal bahasa arab menyalahkan anggapan tersebut. Karena jamaknya kata ”Al-Ummu” adalah ”Al-Ummahat”, sebagaimana terdapat dalam firman Allah ‘’Azza wa Jalla.
•
Dan ibu-ibu yang menyusukanmu.
Jadi, jelas bahwa kata “imam” bukanlah bentuk jamak dari kata “ummun”. Karena hal ini akan menyalahi bahasa syarak. Adapun “imam” dalam ayat di atas adalah “Nabi” yang diikuti oleh umatnya. Atau mungkin pula yang dimaksudkan adalah “kitabul A’mal” (buku catatan amal) dengan dalil ujung ayat tersebut berbunyi:
Artinya: Barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
Kitab-Kitab Tafsir Bi Al-Ra’yi
Kitab-kitab dibawah ini dikategorikan sebagai kitab tafsir bi al-Ra’yi, karena dibuat oleh mufassir yang di dalamnya membahas kitab tafsir tersebut menggunakan ra’yunya lebih dominan dibandingkan dengan tafsir bi Ma’tsurnya.
Berikut ini dipaparkan beberapa kitab-kitab tafsir bi al-Ra’yi yang termasyur yang berkembang dalam masyarakat Islam dan menjadi pegangan umat, antara lain adalah:
Tafsir Anwarul Tanzil wa Asrarut Takwil, sususnan Al-Baidhawy.
Tafsir Mafatihul Ghaiby, susunan Fakhruddin Al-Razy.
Tafsir Irsyadul Aqlis Salim, susunan Abu Su’udAl-Imady.
Tafsir Ghara-ibul Quran wa Taqhaibul Furqan, susunan Nizamuddin bin Muhammad An-Naisabury
Tafsir Jalalain, susunan Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dan Jalaluddin Muhammad Al-Suyuty.
Tafsir Madarikut Tanzil wa Haqa-iqut takwil, susunan An-Nasafi.
Tafsir Al-Sirajul Munir, susunan Al-Khatib Al-Syabiny.
Tafsir Ruhul Ma’ani, sususnan Syihabuddin Al-Alusy.
Tafsir Fathul Qadir, sususnan Al-Imam Al-Syaukany.
Tafsir Fathul Bayan, susunan Siddiq hasan Khan
TAFSIR ISYARI (TAFSIR TASAWUF)
Di antara kelompok sufi (tasawuf) ada yang mendakwakan bahwa riyadhah (latihan) ruhani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan di mana ia dapat menyikapkan isyarat-isyarat qudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib, pengetahuan subhani yang dibawa ayat-ayat itulah yang disebut Tafsir al-Isyari.
Untuk lebih jelas, dikutip beberapa pengertian tafsir isyari yang diungkapkan oleh para ulama, yaitu sebagai berikut :
Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.”
Manna Khalil al-Qattan menyatakan bahwa setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin (tersembunyi). Makna zahir ialah segala sesuatu yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan makna batin adalah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak dan diketahui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk).
Tafsir al-Isyari sebagai:“Penafsiran al-Qur`an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah)” dan mereka yang diberi sinar oleh Allah sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur`an , pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari ayat al-Qur`an.”
Tafsir al-Isyari disebut juga tafsir Shufi, yaitu penafsiran al-Qur`an dengan melibatkan kapasitas sufistik atau tasauf; mencoba memahami ayat-ayat dengan mengungkapkan makna atau isyarat di balik makna zahir ayat.
Ulama Aliran tasauf praktis mengartikan Tasfir al-Isyarat sebagai tafsir yang menakwilkan al-qur’an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju Allah). Namun, terdapat kemungkinan untuk menggabumgkan antara penafsiran tekstual dan penafsiran isyarat itu..
Dengan kata lain Tafsir al-Isyari adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah (al-Rasikhun). Sebagaimana difirmankan oleh Allah sehubungan dengan kisah Nabi Khidhir dengan Nabi Musa AS:
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Allah telah menganugerahkan ilmu-Nya kepada Khidhir tanpa melalui proses belajar sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang biasa. Ia memperoleh ilmu karena ketaatan dan kesalihannya. Ia jauh dari maksiat dan dosa. Ia senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kesuciannya, Khidhir diberikan ilmu dari sisi-Nya yang dinamakan ilmu ladunni menggunakan pendekatan qalbi (hati) atau rasa.
Tafsir al-Isyari jika bercampur dengan hal-hal yang samar-samar (tasyabbuh) ia akan menjadi pemahaman yang salah dan sesat. Tetapi selama merupakan kajian dan penelitian (istinbat) yang benar dan sesuai dengan kaedah-kaedah kebahasaan atau yang ditunjuk oleh zahir ayat serta didukung oleh bukti kesahihannya tanpa adanya pertentangan (mukhalafah), maka ia dapat diterima.
Tafsir semacam ini tidak termasuk dalam kategori ilmu hasil usaha/ penemuan (kasabi atau nazari) yang dapat dicapai dengan pemikiran dan penelitian yang mendalam tetapi termasuk ilmu ladunni yaitu pemberian sebagai akibat dari ketaqwaan, keistiqamahan dan kebaikan seseorang, sebagaimana firman Allah:
……………. •
…........... dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. .”
Contoh-contoh Tafsir Al-Isyari
Ada beberapa contoh Tafsir Al-Isyari yang disebutkan para ahli tafsir, di antaranya :
Manna Khalil Qattan mengemukakan contoh untuk ini adalah Riwayat Ibnu Abbas di mana ia berkata : “Umar RA mengajakku bergabung bersama tokoh-tokoh pertempuran Badar. Di antara mereka ada yang keberatan dana berkata, “mengapa engkau mengajak anak kecil ini bersama kami padahal kami mempunyai beberapa anak yang seusia dengannya? “Umar menjawab, “Ia adalah orang yang kau kenal kepandaiannya. Pada suatu ketika aku dipanggil untuk bergabung dalam kelompok mereka. Ibnu `Abbas berkata, “Aku berkeyakinan bahwa Umar memanggilku semata-semata untuk diperkenalkan kepada mereka. Umar berkata, “ Apakah pendapat kalian tentang firman Allah :
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
Di antara mereka yang menjawab, “ Kami diperintahkan untuk memuji dan meminta kepada Allah ketika mendapat pertolongan dan kemenangan. “ Sahabat yang lain bungkam dan mengatakan apa-apa. Umar melemparkan pertanyaan kepadaku, “Begitukah pendapatmu Ibnu `Abbas ? Aku menjawab,
“ Ayat itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah SAW yang diberitahukan Allah SWT kepadanya”.
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.
Umar menjawab, “ Aku tidak tahu pengertian ayat tersebut, kecuali yang engkau jelaskan “ (Hadist Riwayat Bukhari).
Berdasarkan riwayat di atas jelas menunjukkan bahwa pemahaman Ibnu `Abbas ini tidak bisa dikuasai oleh sahabat-sahabat yang lain. Yang memahaminya hanyalah Umar RA dan Ibnu `Abbas sendiri. Inilah bentuk Tafsir Al-Isyari yang diilhamkan Allah kepada makhlukNya yang dikehendaki untuk diperlihatkan kepada hamba-hamba lainnya, yakni surat Al-Nashr tersebut menyatakan berita wafat Nabi SAW dan menunjukkan dekatnya ajal beliau.
Misalnya sebuah Hadist yang menyebutkan bahwa pada ketika Nabi SAW berkhutbah di hadapan orang ramai. Di antara khutbahnya tersebut beliau
mengemukakan : “Bahwasannya Allah menyuruh seorang hamban-Nya untuk memilih seluruh isi dunia ini atau apa yang ada disisi-Nya. Kemudian Ia memilihnya memilihnya yang ada dekat-Nya. Abu Bakar menangis (dalam satu riwayat ia mengatakan, “Kami menebusmu ya Rasulullah dengan nenek moyang kami). Kami merasa heran terhadap Abu Bakar yang menangis. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kami mengetahui bahwa Abu Bakar adalah orang yang terpilih dan kenyataan memang Abu Bakar yang terpandai di antara kami.”
Dalam kasus diatas sangat jelas terlihat bahwa sahabat Abu Bakar RA telah dapat memahami arti sabda Nabi SAW secara tersirat atau isyarat yang tidak bisa dijangkau pemahaman tersebut oleh para sahabat lainnya.
Beberapa Persyaratan Tentang Tafsir Al-Isyari
Penafsiran terhadap Al-Qur`an tentang dilakukan oleh para penafsir berkisar pada tiga hal pokok, yakni : Tafsir mengenai lafaz (Uraian Lafaz), yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh Ulama-ulama muta`akhkhirin (Ulama modern), tafsir tentang makna, yaitu yang ditempuh oleh kaum salaf dan tafsir mengenai isyarat (Tafsir Al-Isyari) yaitu yang ditempuh oleh mayoritas ahli sufi dan lain-lain.
Tafsir yang terakhir ini dapat diterima bila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
Tidak bertentangan (ta`arudh atau mukhalafah) dengan makna lahir (pengetahuan tekstual) Al-Qur`an.
Penafsirannya diperkuat oleh dalil syara` yang lain.
Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara` atau rasio.
Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
Penafsiran tersebut tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafal,
sebagaimana panafsiran tasawuf praktis mengenai firman Allah:
……………………
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud AS……
Menurut mereka bahwa Ali Bin Abi Thalib adalah pewaris Ilmu Nabi SAW. Apabila syarat-syarat ini terpenuhi maka penafsiran secara Isyari dapat diterima dan merupakan istinbath yang baik.Tanpa syarat-syarat tersebut di atas, tafsir Isyari tidaklah dapat diterima yang berarti termasuk tafsir berdasarkan hawa nafsu dan ra`yu semata, yang dilarang. Allahlah yang memberikan taufik dan hidayah menurut jalan yang benar.
Corak-corak Tafsir Al-Isyari
Corak (laun) penafsiran ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru karena telah dikenal sejak turunnya Al-Qur`an kepada Rasulullah SAW. Hal ini diisyaratkan oleh Al-Qur`an. Firman Allah SWT:
…………….
…………Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
Dari sini dapat diketahui bahwa tafsir corak Tasauf Praktis ini, sebagaimana halnya dengan tafsir bi al-Ma`tsur sudah ada sejak dulu, di Zaman Rasulullah. Penafsiran semacam ini dapat diterima selama memenuhi kriteria atau syarat-syarat sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Diantara kitab-kitab tafsir al-Isyari atau Tasawuf Praktis ini adalah:
Tafsir al-Tastury atau tafsir Al-Qur`an al-`Azim karya Abu Muhammad Sahal ibnu Abdullah al-Tastury (W.283 H)
Tafsir ini tidak lengkap mengupas seluruh ayat-ayat Al-Qur`an meskipun lengkap menyebutkan surat-surat Al-Qur`an, tafsir ini telah menempuh jalan sufi dan disesuaikan dengan ahli zahir.
Ghara`ib Al-Qu`an wa Ragha`ib al-Furqan atau tafsir al-Naisaburi.
Karya Nizhamuddin al-Hasan Muhammad al-Naisaburi (W.728 H). Tafsir ini memperoleh keistimewaan dengan mudah ungkapan (Bahasa)nya dan mentahkikkan sesuatu yang perlu ditahkik. Tafsir ini mashyur dan tercetak ditepian tafsir ibnu Jarir.
Tafsir al-Alusi (Tafsir Ruhul Ma`ani)
Karya Syihabuddin al-Sayid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi (w.1270 H). Tafsir ini termasuk tafsir yang besar, luas dan lengkap, disitu disebutkan riwayat-riwayat salaf disamping pendapat-pendapat ulama khalaf yang diterima.
Tafsir Ibnu `Arabi karya Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abdullah Muhyiddin Ibnu `Arabi. (w.238 H / 1240 M). Dijuluki dengan Syeikh Akbar.
Haqaiqut Tafsir karya Abu Abdir Rahman Muhammad bin Husain bin Musa, al-Azdi al-Silmi (w.412 H).
Tafsir ini tertulis dalam satu jilid besar. Dan mengupas seluruh surat dalam al-Qur`an, tetapi tidak mengupas seluruh ayat-ayatnya. Tafsir ini mendasarkan pasa isyarah, meskipun ia sendiri tidak menentang dhahir al-Qur`an. Hanya saja ia membatasi tafsirnya pada isyarah sehingga mengandung celaan dari para ulama tafsir.
Tafsir al-Raisul Bayan fi Haqaiqul Qur`an, karya Abu Muhammad Ruzbihan bin Abi al-Nash al-Syairazi.(w.606 H).
Tafsir ini seluruhnya dengan isyarah dan tidak ditampilkan tafsir menurut dhahir ayat, meskipun penafsir ini berkeyakinan bahwa dhamir ayat itu wajib dipergunakan terlebih dahulu. Kitab ini terdiri dari dua juz yang dihimpun menjadi satu jilid besar.
Al-Ta`wilatun Najimiah, karya Najmuddin Dayah dan Ahmad Daulah al-Samnawi. Tafsir ini disusun oleh Najmuddin Dayah dan ia meninggal sebelum tafsir itu selesai. Kemudian diteruskan oleh Alau al-Daulah al-Samnawi. Tafsir ini tertulis dalam lima julid besar. Jilid keempat berakhir pada ayat 17 dan 18 surat al-Zariyat dan itulah akhir penafsiran Najmuddin. Sedangkan Jilid kelimanya merupakan penyempurnaan tafsir ini.
Antara penafsir I dan penerusnya terdapat perbedaan dimana penafsir I kadang-kadang mengemukakan tafsir berdasar zahir ayat, baru setelah itu diteruskan dengan isyarat. Sedangkan penerusnya tidak mengungkap zahir ayat.
Perdebatan Ulama Mengenai Tafsir Al-Isyari
Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.
Pembahasan ini sangat rumit dan memerlukan penelitian dan penyelidikan yang sungguh-sungguh, teratur dan memerlukan penyelaman yang sangat mendalam. Seandainya tujuan dari tafsir ini adalah mengikuti hawa nafsu dan hanya mempermaikan ayat-ayat Allah sebagaimana yang dilakukan oleh aliran kebatinan maka tafsir semacam ini termasuk zindik dan anti Tuhan (atheis). Sebaliknya, apabila tujuan tafsir untuk menunjukkan bahwa kalam Allah tidak dapat dikuasai oleh manusia karena merupakan ucapan dari Sang pencipta segala kekuatan dan kemampuan, serta mengandung beberapa pengertian dan rahasia, hal itu termasuk pemurnian ma`rifat dan kesempurnaan iman, sebagaimana dikatakan oleh ibnu `Abbas,”Al-Qur`an mengandung berbagai budaya dan ilmu yang lahir maupun batin, keajaiban tidak akan habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau.”Barang siapa yang menyelaminya dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat dan barang siapa yang menyelaminya dengan cara radikal niscaya akan terjerumus. Al-Qu`an mengandung berita dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabbih yang lahir dan batin. Secara lahir berupa bacaan dan secara batin berupa takwil. Belajarlah dari ulama dan jauhilah orang-orang bodoh.”
Analisis Mengenai Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari
Kelebihan atau Keunggulan Tafsir Al-Isyari
Mempelajari beberapa pokok bahasan di atas terutama terhadap ulama yang mendukung dan memperbolehkan penafsiran secara Isyari terlihat beberapa kelebihan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu :
Tafsir Isyari mempunyai kekuatan hukum dari Syara` sebagaimana telah dijelaskan mengenai beberapa contoh penafsiran secara Isyari, seperti penafsiran Ibnu `Abbas terhadap firman Allah Q.S. Al-`Nashr :1. Sehingga hampir semua sahabat dalam kasus tersebut tidak ada yang memahami maknanya melainkan makna secara zahir atau tekstual.
Apabila Tafsir Isyari ini memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan Hadith.
Penafsiran secara Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu pengetahuan kepada orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada orang-orang pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
Penafsiran Isyari mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan ahli tafsir kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan kemurnian ma`rifat.
Tafsir Isyari atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami makna tekstual atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna secara isyarat. Hal ini mereka memiliki dua kelebihan. Pertama, menguasai makna lahir ayat atau hadith. Kedua, memahami makna isyaratnya.
Kelemahan-kelemahan Tafsir Al-Isyari.
Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsir al-Isyari terutama pendapat yang menganggap tafsir al-Isyari tergolong ke dalam tafsir mardud atau tertolak penuh dengan rekayasa dan khayalan para penafsir. Disini terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai berikut :
Apabila Tafsir Isyari ini tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di sebutkan diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
Tafsir Isyari yang telah kemasukan pena`wilan yang rusak sebagaimana dipergunakan oleh aliran kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu termasuk tafsir Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan ateis. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
Penafsiran secara Isyari kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu `Arabi terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka pada hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah sebagai pengganti Allah.
Penafsiran secara Isyari tidak dapat dijangkau atau sulit dipahami oleh kaum awam yang berakibat pada rusaknya agama orang-orang awam. Sebagaimana ungkapan Ibnu Mas`ud ra, “Seseorang yang mengatakan kata-kata dihadapan orang lain tidak dimengerti hal itu akan menjadi fitnah buat mereka.”
PENUTUP
Salah satu metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah metode tafsir Al-Aqli Al-Ijtihadi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tafsir bil al-ra’yi (tafsir berdasarkan pikiran. Tafsir ini juga disebut tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul. Tafsir bi Ar-Ra’yi adalah Ijtihad yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, biasa diikuti dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir al-Qur’an atau mendalami pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendak sendiri
Metode tafsir yang lain yaitu tafsir Al-Isyari atau tafsir berdasarkan indikasi. Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi. Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Rifai , Mohammad. Mengapa Tafsir Al-Qur’an Dibutuhkan. (Semarang, CV. Wicaksana, tth)
Ushama, Thameem. Metodologi Tafsir Al-Quran, terj. Hasan Basri, Amroeni. (Jakarta: Riora Cipta, 2000)
M. Aly Ash-Shabuny. At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj. M. Chudlori Umar, dkk, (Bandung: Pengantar Studi Al-Qur’an Al-Ma’arif, 1987)
Manna Khalil Al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. (Bogor: Litera Antar Nusa, 1996)
Ali Hasan al-‘Aridl. Tarikh al-‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin. Terj. Ahmad Akrom. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)
Yunus Hasan. Tafsir Al-Quran(Sejarah Tafsirdan Metode Para Mufasir), terj. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah &Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsi.,(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)
Basri, Talhas Hasan. Spektrum Sainfikasi al-Qur’an. (jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase,2001)
Rosihan Anwar. Ilmu Tafsir. (Bandung : Pustaka Setia, 2000)
Muhammad Husein al-Zahabi. Penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Qur`an. Terj. Hamim Ilyas , Machnun Husein. (Jakarta : Rajawali, 1991)
Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmi-ilmu ke Islaman , tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini.
Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.
Ada beberapa metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah metode Tafsir Al-Aqli Al-Ijtihadi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tafsir bil al-ra’yi (tafsir berdasarkan pikiran). Tafsir ini juga disebut tafsir bi al-‘aqli, tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul. Tafsir bi al-ra’yi sering dipergunakan oleh para mufassir untuk melegitimasi mazhabnya sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan mazhabnya.
Metode tafsir yang lain yaitu tafsir Al-Isyari atau tafsir berdasarkan indikasi. Dalam hal ini akan akan kami ketengahkan definisi tafsir AL-Isyari, syarat-syartanya, contoh-contohnya, beberapa perdebatan ulma’ tentang tafsir tersebut. Begitujuga Analisis Mengenai Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari.
PEMBAHASAN
TAFSIR BI AL-RA’YI (TAFSIR AL-AQLI AL-IJTIHADI)
Pemahaman makna ayat berpedoman kepada penjelasan Al-Quran, Sunnah Rasulullah atau keterangan sahabat, selain itu juga dilakukan dengan kemampuan yang ada pada akal melalui ijtihad. Ra’yu berasal dari kata ra’aya, yang berarti melihat dengan akal pikiran, ra’yu dapat juga diartikan sebagai berikut:
Qiyas, hal ini dikarenakan orang-orang yang sering mempergunakan qiyas disebut Shahibul Ra’yi, yaitu orang-orang yang suka menggunakan qiyas (analogi) dalam berdalil, karena mereka tidak menemukan dalil, karena mereka tidak menemukan nash (hadist atau atsar).
Al-Ijtihad, arti inilah yang dimaksudkan dengan ra’yu dalam makalah ini. Oleh karena itu tafsir bi Ar-Ra’yi sering juga disebut dengan tafsir bi Al-Ijtihad, atau tafsir Al-Ijtihadi, yaitu penafsiran dengan mengguakan ijtihad.
Tafsir bil al-ra’yi (tafsir berdasarkan pikiran) ini juga disebut tafsir bil ‘aqli, tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul bagi mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tabi’in. Sandaran mereka adalah bahasa arab, budaya arab yang terkandung di dalamnya, pengetahuan tentang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains yang amat diperlukan oleh mereka yang ingin menafsirkan Al-Quran . Para ulama mengajukan beberapa defenisi yang agak berbeda mengenai tafsir bi Ar-Ra’yi, sebagaimana yang dikutip berikut ini:
Menurut M. Aly Ash-Shabuny: “Tafsir bi Ar-Ra’yi adalah Ijtihad yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, biasa diikuti dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir al-Qur’an atau mendalami pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendak sendiri.”
Menurut Manna’ al-Qaththan: “Tafsir bi al-Ra’yi adalah metode penafsiran yang dipakai oleh mufassir dalam menerangkan makna yang hanya berlandaskan kepada pemahamannya yang khusus dan mengambilnya hanya berdasarkan pada akal saja, dan keterangan tersebut tidak didapat dari pemahaman yang berjiwa syari’ah dan yang berdasarkan kepada nash-nashnya.”
Dari pengertian yang dikemukakan oleh kedua tokoh di atas memang terlihat perbedaan persepsi mengenai defenisi tafsir bi al-Ra’yi itu sendiri, yang pertama memberikan kesan positif terhadap tafsir bi al-Ra’yi dan menerangkan bahwa tafsir bi al-Ra’yi tidak hanya sekedar buah pikir mufassir itu sendiri tetapi juga berdasarkan kriteria-kriteria lain yang harus dipenuhi, sementara pada pendapat yang kedua memberikan pengertian yang sempit terhadap tafsir bi al-Ra’yi yang memberikan stressing mark pada pemakaian akal semata tanpa memberikan criteria yang lain.
Namun bila diteliti lebih jauh dapatlah difahami bahwa tafsir bi al-Ra’yi adalah menafsirkan al-Qur’an dengan berdasarkan pada pendapat ataupun ijtihad, dan tidak berdasarkan pada apa yang dinukilkan oleh sahabat atau thabi’in, dengan memperhatikan kaidah bahasa arab.
Perlu dijelaskan bahwa meskipun para mufassir bi al-Ra’yi ini melakukan penafsiran berdasarkan pemikiran, namun bukan berarti mereka hanya mengandalkan kemampuan rasio semata, malah mereka dituntut untuk tidak sekedar memahami nilai-nilai yang dikandung al-Qur’an dan sunnah tetapi juga harus memiliki kualifikasi tersendiri, agar tafsir yang mereka kemukakan bisa diterima kredibilitasnya.
Adapun syarat-syarat mufassir bi al-Ra’yi ini diantaranya:
1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan seluk beluknya.
2. Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an
3. Menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an, seperti Hadits dan Ushul Fiqh.
4. Beraqidah yang benar.
5. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6. Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok-pokok agama Islam.
7. Menuasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
Kriteria-kriteria diatas haruslah dipenuhi para mufassir, agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Sementara itu Dr. Ali Hasan al-‘Aridh menambahkan mengenai 6 hal yang harus dihindari oleh Mufassir bi al-Ra’yi yaitu:
1. Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah (otoritas Allah semata).
3. Menafsirkan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4. Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya
5. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab, dengan cara menjadikan faham mazhab sebagai dasar, sedangkan penafsiran mengikuti paham mazhab tersebut.
6. Menafsirkan dengan disertai memastikan, bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian, tanpa didukung oleh dalil.
Selama mufassir bi al-Ra’yi memenuhi persyaratan dan menjauhi keenam hal tersebut, dibarengi pula dengan niat dan tujuan yang ikhlas karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dikatakan rasional. Namun bila ia tidak memenuhi kriteria diatas berarti ia telah menyimpang dan oleh karena itu penafsirannya ditolak.
Di samping persyaratan diatas, tafsir bi al-Ra’yi juga harus sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kesesatan dan kebodohan, serta bersandar pada sesuatu yang wajib dijadikan sandaran, sandaran yang harus dipedomi tersebut yaitu:
1. Naql dari Rasulullah, berpegang pada hadits-hadits yang bersumber dari Rasulullah SAW, dengan ketentuan ia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu).
2. Perkataan sahabat, berpegang pada ucapan sahabat nabi, karena yang mereka ucapkan menurut peristilahan hadits, hukumnya mutlak marfu’ (shahih atau hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbab an nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri oleh ra’yu.
3. Berpegang pada kaidah bahasa Arab, dan harus senantiasa berhati-hati untuk tidak menafsirkan ayat-ayat yang menyimpang dari makna lafadz yang semestinya
Pembagian Tafsir Bi Al-Ra’yi
Para ulama tafsir mengklasifikasikan tafsir bi al-Ra’yi kepada dua yaitu:
Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud, yaitu suatu penafsiran yang berdasar dari al-Qur’an dan sunnah Rasul, sedangkan pelaku atau mufassirnya adalah seorang pakar dalam bahasa Arab, baik gaya bahasanya, maupun kaidah-kaidah hukum dan ushulnya. Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud ini sesuai dengan tujuan syara’, serta jauh dari kejahilan dan kesesatan. Tafsir semacam ini selayaknya disebut tafsir yang terpuji atau tafsir yang syah.
Adapun mengenai hukumnya, para ulama membolehkan jenis tafsir ini, dengan mengajukan beberapa alasan, diantaranya:
1. Firman Allah:
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
serta ayat-ayat lain yang mengajak untuk mentadabburkan al-Qur’an.
2. Do’a Rasulullah terhadap Ibnu Abbas: “Ya Allah fahamkanlah dia mengenai agama dan pandaikanlah dia dalam ta’wil”. Hadits ini menunjukkan keistimewaan yang dimiliki Ibnu Abbas yang mampu menggunakan Ijtihad dalam penafsirannya.
3. Argumen yang menyatakan bahwa bila tafsir bi al-Ra’yi tidak diperbolehkan maka banyak sekali hal-hal yang nantinya tidak mempunyai hukum, karena tidak dibolehkannya berijtihad padahal Rasulullah SAW menjanjikan bahwa orang yang berijtihad mendapat pahala.
Tafir bi al-Ra’yi al-Mahmud ini dibolehkan karena mufassir menafsirkan ayat dengan memenuhi segala kualifikasi dan sesuai tujuan syar’i ditambah dengan ijtihadnya sendiri
Tafsir bi al-Ra’yi al-Madzmum, yaitu penafsiran dengan tidak disertai ijtihad, tetapi disertai hawa nafsu. Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan pendapat dan keyakinan mereka, sehingga penafsiran itu membawa kepada arah pemikiran yang kosong, ditafsirkan tanpa ilmu hanya menuruti kehendak dengan tidak mengetahui dasar-dasar bahasa dan syari’at. Tafsir semacam ini disebut dengan tafsir yang tercela atau tafsir palsu.
Hukumnya adalah haram. Dalil-dalil yang menunjukkan keharamannya cukup banyak, diantaranya :
Firman Allah SWT, didalam surat al-Isra’: 36 yang berbunyi:
•
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
Contoh Ayat Yang Ditafsirkan Menurut Tafsir Bi Ra’yi
Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud
Salah satu contoh penafsiran bi al-Ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh imam al-Mahalli dan imam as-Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “Tafsir Jalalain”, mengenai surat al-Isra’ ayat 85:
85. Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Imam al-Mahalli menafsirkan kata “ruh” bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka manusia bisa hidup. Kemudian imam as-Suyuthi memberikan penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah lebih baik.
Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi yang ringkas maka kedua mufassir tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
Contoh Tafsir bi al-Ra’yi al-Madzmum
Penafsiran yang diriwayatkan dari sebagian orang bodoh yang mengaku alim dalam menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla
• •
Pada hari (kiamat) Kami panggil tiap-tiap manusia denngan imannya .
Menurutnya bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah: Allah memenggil manusia pada hari kiamat dengan nama ibunya karena hendak menutupi mereka.
Orang bodoh tadi menafsirkan kaliamat “Al-Iman”dengan kalimat “Al-Ummahat”. Dia mengira bahwa kata “Al-Iman” merupakan bentuk jamak dari kata ”Al-Ummu”. Padahal bahasa arab menyalahkan anggapan tersebut. Karena jamaknya kata ”Al-Ummu” adalah ”Al-Ummahat”, sebagaimana terdapat dalam firman Allah ‘’Azza wa Jalla.
•
Dan ibu-ibu yang menyusukanmu.
Jadi, jelas bahwa kata “imam” bukanlah bentuk jamak dari kata “ummun”. Karena hal ini akan menyalahi bahasa syarak. Adapun “imam” dalam ayat di atas adalah “Nabi” yang diikuti oleh umatnya. Atau mungkin pula yang dimaksudkan adalah “kitabul A’mal” (buku catatan amal) dengan dalil ujung ayat tersebut berbunyi:
Artinya: Barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
Kitab-Kitab Tafsir Bi Al-Ra’yi
Kitab-kitab dibawah ini dikategorikan sebagai kitab tafsir bi al-Ra’yi, karena dibuat oleh mufassir yang di dalamnya membahas kitab tafsir tersebut menggunakan ra’yunya lebih dominan dibandingkan dengan tafsir bi Ma’tsurnya.
Berikut ini dipaparkan beberapa kitab-kitab tafsir bi al-Ra’yi yang termasyur yang berkembang dalam masyarakat Islam dan menjadi pegangan umat, antara lain adalah:
Tafsir Anwarul Tanzil wa Asrarut Takwil, sususnan Al-Baidhawy.
Tafsir Mafatihul Ghaiby, susunan Fakhruddin Al-Razy.
Tafsir Irsyadul Aqlis Salim, susunan Abu Su’udAl-Imady.
Tafsir Ghara-ibul Quran wa Taqhaibul Furqan, susunan Nizamuddin bin Muhammad An-Naisabury
Tafsir Jalalain, susunan Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dan Jalaluddin Muhammad Al-Suyuty.
Tafsir Madarikut Tanzil wa Haqa-iqut takwil, susunan An-Nasafi.
Tafsir Al-Sirajul Munir, susunan Al-Khatib Al-Syabiny.
Tafsir Ruhul Ma’ani, sususnan Syihabuddin Al-Alusy.
Tafsir Fathul Qadir, sususnan Al-Imam Al-Syaukany.
Tafsir Fathul Bayan, susunan Siddiq hasan Khan
TAFSIR ISYARI (TAFSIR TASAWUF)
Di antara kelompok sufi (tasawuf) ada yang mendakwakan bahwa riyadhah (latihan) ruhani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan di mana ia dapat menyikapkan isyarat-isyarat qudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib, pengetahuan subhani yang dibawa ayat-ayat itulah yang disebut Tafsir al-Isyari.
Untuk lebih jelas, dikutip beberapa pengertian tafsir isyari yang diungkapkan oleh para ulama, yaitu sebagai berikut :
Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi.”
Manna Khalil al-Qattan menyatakan bahwa setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin (tersembunyi). Makna zahir ialah segala sesuatu yang segera mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan makna batin adalah isyarat-isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak dan diketahui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk).
Tafsir al-Isyari sebagai:“Penafsiran al-Qur`an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah)” dan mereka yang diberi sinar oleh Allah sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur`an , pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham ilahi atau pertolongan Allah, sehingga mereka bisa menggabungkan antara pengertian yang tersirat dengan maksud yang tersurat dari ayat al-Qur`an.”
Tafsir al-Isyari disebut juga tafsir Shufi, yaitu penafsiran al-Qur`an dengan melibatkan kapasitas sufistik atau tasauf; mencoba memahami ayat-ayat dengan mengungkapkan makna atau isyarat di balik makna zahir ayat.
Ulama Aliran tasauf praktis mengartikan Tasfir al-Isyarat sebagai tafsir yang menakwilkan al-qur’an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju Allah). Namun, terdapat kemungkinan untuk menggabumgkan antara penafsiran tekstual dan penafsiran isyarat itu..
Dengan kata lain Tafsir al-Isyari adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah (al-Rasikhun). Sebagaimana difirmankan oleh Allah sehubungan dengan kisah Nabi Khidhir dengan Nabi Musa AS:
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Allah telah menganugerahkan ilmu-Nya kepada Khidhir tanpa melalui proses belajar sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang biasa. Ia memperoleh ilmu karena ketaatan dan kesalihannya. Ia jauh dari maksiat dan dosa. Ia senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kesuciannya, Khidhir diberikan ilmu dari sisi-Nya yang dinamakan ilmu ladunni menggunakan pendekatan qalbi (hati) atau rasa.
Tafsir al-Isyari jika bercampur dengan hal-hal yang samar-samar (tasyabbuh) ia akan menjadi pemahaman yang salah dan sesat. Tetapi selama merupakan kajian dan penelitian (istinbat) yang benar dan sesuai dengan kaedah-kaedah kebahasaan atau yang ditunjuk oleh zahir ayat serta didukung oleh bukti kesahihannya tanpa adanya pertentangan (mukhalafah), maka ia dapat diterima.
Tafsir semacam ini tidak termasuk dalam kategori ilmu hasil usaha/ penemuan (kasabi atau nazari) yang dapat dicapai dengan pemikiran dan penelitian yang mendalam tetapi termasuk ilmu ladunni yaitu pemberian sebagai akibat dari ketaqwaan, keistiqamahan dan kebaikan seseorang, sebagaimana firman Allah:
……………. •
…........... dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. .”
Contoh-contoh Tafsir Al-Isyari
Ada beberapa contoh Tafsir Al-Isyari yang disebutkan para ahli tafsir, di antaranya :
Manna Khalil Qattan mengemukakan contoh untuk ini adalah Riwayat Ibnu Abbas di mana ia berkata : “Umar RA mengajakku bergabung bersama tokoh-tokoh pertempuran Badar. Di antara mereka ada yang keberatan dana berkata, “mengapa engkau mengajak anak kecil ini bersama kami padahal kami mempunyai beberapa anak yang seusia dengannya? “Umar menjawab, “Ia adalah orang yang kau kenal kepandaiannya. Pada suatu ketika aku dipanggil untuk bergabung dalam kelompok mereka. Ibnu `Abbas berkata, “Aku berkeyakinan bahwa Umar memanggilku semata-semata untuk diperkenalkan kepada mereka. Umar berkata, “ Apakah pendapat kalian tentang firman Allah :
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
Di antara mereka yang menjawab, “ Kami diperintahkan untuk memuji dan meminta kepada Allah ketika mendapat pertolongan dan kemenangan. “ Sahabat yang lain bungkam dan mengatakan apa-apa. Umar melemparkan pertanyaan kepadaku, “Begitukah pendapatmu Ibnu `Abbas ? Aku menjawab,
“ Ayat itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah SAW yang diberitahukan Allah SWT kepadanya”.
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.
Umar menjawab, “ Aku tidak tahu pengertian ayat tersebut, kecuali yang engkau jelaskan “ (Hadist Riwayat Bukhari).
Berdasarkan riwayat di atas jelas menunjukkan bahwa pemahaman Ibnu `Abbas ini tidak bisa dikuasai oleh sahabat-sahabat yang lain. Yang memahaminya hanyalah Umar RA dan Ibnu `Abbas sendiri. Inilah bentuk Tafsir Al-Isyari yang diilhamkan Allah kepada makhlukNya yang dikehendaki untuk diperlihatkan kepada hamba-hamba lainnya, yakni surat Al-Nashr tersebut menyatakan berita wafat Nabi SAW dan menunjukkan dekatnya ajal beliau.
Misalnya sebuah Hadist yang menyebutkan bahwa pada ketika Nabi SAW berkhutbah di hadapan orang ramai. Di antara khutbahnya tersebut beliau
mengemukakan : “Bahwasannya Allah menyuruh seorang hamban-Nya untuk memilih seluruh isi dunia ini atau apa yang ada disisi-Nya. Kemudian Ia memilihnya memilihnya yang ada dekat-Nya. Abu Bakar menangis (dalam satu riwayat ia mengatakan, “Kami menebusmu ya Rasulullah dengan nenek moyang kami). Kami merasa heran terhadap Abu Bakar yang menangis. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kami mengetahui bahwa Abu Bakar adalah orang yang terpilih dan kenyataan memang Abu Bakar yang terpandai di antara kami.”
Dalam kasus diatas sangat jelas terlihat bahwa sahabat Abu Bakar RA telah dapat memahami arti sabda Nabi SAW secara tersirat atau isyarat yang tidak bisa dijangkau pemahaman tersebut oleh para sahabat lainnya.
Beberapa Persyaratan Tentang Tafsir Al-Isyari
Penafsiran terhadap Al-Qur`an tentang dilakukan oleh para penafsir berkisar pada tiga hal pokok, yakni : Tafsir mengenai lafaz (Uraian Lafaz), yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh Ulama-ulama muta`akhkhirin (Ulama modern), tafsir tentang makna, yaitu yang ditempuh oleh kaum salaf dan tafsir mengenai isyarat (Tafsir Al-Isyari) yaitu yang ditempuh oleh mayoritas ahli sufi dan lain-lain.
Tafsir yang terakhir ini dapat diterima bila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
Tidak bertentangan (ta`arudh atau mukhalafah) dengan makna lahir (pengetahuan tekstual) Al-Qur`an.
Penafsirannya diperkuat oleh dalil syara` yang lain.
Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara` atau rasio.
Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
Penafsiran tersebut tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafal,
sebagaimana panafsiran tasawuf praktis mengenai firman Allah:
……………………
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud AS……
Menurut mereka bahwa Ali Bin Abi Thalib adalah pewaris Ilmu Nabi SAW. Apabila syarat-syarat ini terpenuhi maka penafsiran secara Isyari dapat diterima dan merupakan istinbath yang baik.Tanpa syarat-syarat tersebut di atas, tafsir Isyari tidaklah dapat diterima yang berarti termasuk tafsir berdasarkan hawa nafsu dan ra`yu semata, yang dilarang. Allahlah yang memberikan taufik dan hidayah menurut jalan yang benar.
Corak-corak Tafsir Al-Isyari
Corak (laun) penafsiran ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru karena telah dikenal sejak turunnya Al-Qur`an kepada Rasulullah SAW. Hal ini diisyaratkan oleh Al-Qur`an. Firman Allah SWT:
…………….
…………Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
Dari sini dapat diketahui bahwa tafsir corak Tasauf Praktis ini, sebagaimana halnya dengan tafsir bi al-Ma`tsur sudah ada sejak dulu, di Zaman Rasulullah. Penafsiran semacam ini dapat diterima selama memenuhi kriteria atau syarat-syarat sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Diantara kitab-kitab tafsir al-Isyari atau Tasawuf Praktis ini adalah:
Tafsir al-Tastury atau tafsir Al-Qur`an al-`Azim karya Abu Muhammad Sahal ibnu Abdullah al-Tastury (W.283 H)
Tafsir ini tidak lengkap mengupas seluruh ayat-ayat Al-Qur`an meskipun lengkap menyebutkan surat-surat Al-Qur`an, tafsir ini telah menempuh jalan sufi dan disesuaikan dengan ahli zahir.
Ghara`ib Al-Qu`an wa Ragha`ib al-Furqan atau tafsir al-Naisaburi.
Karya Nizhamuddin al-Hasan Muhammad al-Naisaburi (W.728 H). Tafsir ini memperoleh keistimewaan dengan mudah ungkapan (Bahasa)nya dan mentahkikkan sesuatu yang perlu ditahkik. Tafsir ini mashyur dan tercetak ditepian tafsir ibnu Jarir.
Tafsir al-Alusi (Tafsir Ruhul Ma`ani)
Karya Syihabuddin al-Sayid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi (w.1270 H). Tafsir ini termasuk tafsir yang besar, luas dan lengkap, disitu disebutkan riwayat-riwayat salaf disamping pendapat-pendapat ulama khalaf yang diterima.
Tafsir Ibnu `Arabi karya Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abdullah Muhyiddin Ibnu `Arabi. (w.238 H / 1240 M). Dijuluki dengan Syeikh Akbar.
Haqaiqut Tafsir karya Abu Abdir Rahman Muhammad bin Husain bin Musa, al-Azdi al-Silmi (w.412 H).
Tafsir ini tertulis dalam satu jilid besar. Dan mengupas seluruh surat dalam al-Qur`an, tetapi tidak mengupas seluruh ayat-ayatnya. Tafsir ini mendasarkan pasa isyarah, meskipun ia sendiri tidak menentang dhahir al-Qur`an. Hanya saja ia membatasi tafsirnya pada isyarah sehingga mengandung celaan dari para ulama tafsir.
Tafsir al-Raisul Bayan fi Haqaiqul Qur`an, karya Abu Muhammad Ruzbihan bin Abi al-Nash al-Syairazi.(w.606 H).
Tafsir ini seluruhnya dengan isyarah dan tidak ditampilkan tafsir menurut dhahir ayat, meskipun penafsir ini berkeyakinan bahwa dhamir ayat itu wajib dipergunakan terlebih dahulu. Kitab ini terdiri dari dua juz yang dihimpun menjadi satu jilid besar.
Al-Ta`wilatun Najimiah, karya Najmuddin Dayah dan Ahmad Daulah al-Samnawi. Tafsir ini disusun oleh Najmuddin Dayah dan ia meninggal sebelum tafsir itu selesai. Kemudian diteruskan oleh Alau al-Daulah al-Samnawi. Tafsir ini tertulis dalam lima julid besar. Jilid keempat berakhir pada ayat 17 dan 18 surat al-Zariyat dan itulah akhir penafsiran Najmuddin. Sedangkan Jilid kelimanya merupakan penyempurnaan tafsir ini.
Antara penafsir I dan penerusnya terdapat perbedaan dimana penafsir I kadang-kadang mengemukakan tafsir berdasar zahir ayat, baru setelah itu diteruskan dengan isyarat. Sedangkan penerusnya tidak mengungkap zahir ayat.
Perdebatan Ulama Mengenai Tafsir Al-Isyari
Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.
Pembahasan ini sangat rumit dan memerlukan penelitian dan penyelidikan yang sungguh-sungguh, teratur dan memerlukan penyelaman yang sangat mendalam. Seandainya tujuan dari tafsir ini adalah mengikuti hawa nafsu dan hanya mempermaikan ayat-ayat Allah sebagaimana yang dilakukan oleh aliran kebatinan maka tafsir semacam ini termasuk zindik dan anti Tuhan (atheis). Sebaliknya, apabila tujuan tafsir untuk menunjukkan bahwa kalam Allah tidak dapat dikuasai oleh manusia karena merupakan ucapan dari Sang pencipta segala kekuatan dan kemampuan, serta mengandung beberapa pengertian dan rahasia, hal itu termasuk pemurnian ma`rifat dan kesempurnaan iman, sebagaimana dikatakan oleh ibnu `Abbas,”Al-Qur`an mengandung berbagai budaya dan ilmu yang lahir maupun batin, keajaiban tidak akan habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau.”Barang siapa yang menyelaminya dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat dan barang siapa yang menyelaminya dengan cara radikal niscaya akan terjerumus. Al-Qu`an mengandung berita dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabbih yang lahir dan batin. Secara lahir berupa bacaan dan secara batin berupa takwil. Belajarlah dari ulama dan jauhilah orang-orang bodoh.”
Analisis Mengenai Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Isyari
Kelebihan atau Keunggulan Tafsir Al-Isyari
Mempelajari beberapa pokok bahasan di atas terutama terhadap ulama yang mendukung dan memperbolehkan penafsiran secara Isyari terlihat beberapa kelebihan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu :
Tafsir Isyari mempunyai kekuatan hukum dari Syara` sebagaimana telah dijelaskan mengenai beberapa contoh penafsiran secara Isyari, seperti penafsiran Ibnu `Abbas terhadap firman Allah Q.S. Al-`Nashr :1. Sehingga hampir semua sahabat dalam kasus tersebut tidak ada yang memahami maknanya melainkan makna secara zahir atau tekstual.
Apabila Tafsir Isyari ini memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan Hadith.
Penafsiran secara Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu pengetahuan kepada orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada orang-orang pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
Penafsiran Isyari mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau sembarangan ahli tafsir kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman dan kemurnian ma`rifat.
Tafsir Isyari atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami makna tekstual atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna secara isyarat. Hal ini mereka memiliki dua kelebihan. Pertama, menguasai makna lahir ayat atau hadith. Kedua, memahami makna isyaratnya.
Kelemahan-kelemahan Tafsir Al-Isyari.
Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsir al-Isyari terutama pendapat yang menganggap tafsir al-Isyari tergolong ke dalam tafsir mardud atau tertolak penuh dengan rekayasa dan khayalan para penafsir. Disini terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai berikut :
Apabila Tafsir Isyari ini tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di sebutkan diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
Tafsir Isyari yang telah kemasukan pena`wilan yang rusak sebagaimana dipergunakan oleh aliran kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut bisikan hawa nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga bahwa hal itu termasuk tafsir Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena telah menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan ateis. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
Penafsiran secara Isyari kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu `Arabi terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka pada hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah sebagai pengganti Allah.
Penafsiran secara Isyari tidak dapat dijangkau atau sulit dipahami oleh kaum awam yang berakibat pada rusaknya agama orang-orang awam. Sebagaimana ungkapan Ibnu Mas`ud ra, “Seseorang yang mengatakan kata-kata dihadapan orang lain tidak dimengerti hal itu akan menjadi fitnah buat mereka.”
PENUTUP
Salah satu metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an diantaranya adalah metode tafsir Al-Aqli Al-Ijtihadi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tafsir bil al-ra’yi (tafsir berdasarkan pikiran. Tafsir ini juga disebut tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul. Tafsir bi Ar-Ra’yi adalah Ijtihad yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, biasa diikuti dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir al-Qur’an atau mendalami pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendak sendiri
Metode tafsir yang lain yaitu tafsir Al-Isyari atau tafsir berdasarkan indikasi. Tafsir Isyari adalah tafsir yang menta`wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi. Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul, dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud. Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelenwengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Rifai , Mohammad. Mengapa Tafsir Al-Qur’an Dibutuhkan. (Semarang, CV. Wicaksana, tth)
Ushama, Thameem. Metodologi Tafsir Al-Quran, terj. Hasan Basri, Amroeni. (Jakarta: Riora Cipta, 2000)
M. Aly Ash-Shabuny. At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj. M. Chudlori Umar, dkk, (Bandung: Pengantar Studi Al-Qur’an Al-Ma’arif, 1987)
Manna Khalil Al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. (Bogor: Litera Antar Nusa, 1996)
Ali Hasan al-‘Aridl. Tarikh al-‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin. Terj. Ahmad Akrom. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)
Yunus Hasan. Tafsir Al-Quran(Sejarah Tafsirdan Metode Para Mufasir), terj. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah &Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsi.,(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)
Basri, Talhas Hasan. Spektrum Sainfikasi al-Qur’an. (jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Quran Pase,2001)
Rosihan Anwar. Ilmu Tafsir. (Bandung : Pustaka Setia, 2000)
Muhammad Husein al-Zahabi. Penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Qur`an. Terj. Hamim Ilyas , Machnun Husein. (Jakarta : Rajawali, 1991)
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori tafsier
dengan judul TAFSIR AQLI AL-IJTIHADI DAN TAFSIR ISYARI(TASAWUF). Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://paper-makalah.blogspot.com/2010/03/tafsir-aqli-al-ijtihadi-dan-tafsir.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown -
Belum ada komentar untuk "TAFSIR AQLI AL-IJTIHADI DAN TAFSIR ISYARI(TASAWUF)"
Post a Comment
TULIS DISINI....