Acapkali orang bertanya apakah memang ada wali itu?[1] Jawabnya memang ada. Wali adalah sebutan bagi seseorang yang suci karena telah mencapai ma’rifat,[2] bila mengacu pada al-Qur’an (Yunus, ayat 62-64) kriteria kewalian itu adalah iman dan taqwa, dengan sudah terpenuhi dua kriteria tersebut, berarti seseorang berhak menyandang predikat wali. Apakah sesederhana itu? Menurut Dr. Asep Usman Ismail, kriteria kewalian dengan kadar keimanan dan ketaqwaan yang baru standar, barulah memenuhi konsep kewalian secara umum, untuk tidak mengaburkan istilah wali yang demikian, tentunya kita haruslah mengenal Allah SWT melalui penyelesaian mata batinnya, dan pada level ini pun masih bertingkat-tingkat kewaliannya.
A. Pengertian Wali
Kata wali diambil dari firman Allah :[3]
الله ولي الذين آمنوا
“Allah SWT adalah wali-Nya orang-orang yang beriman”.
وهو يتولى الصاليحين
“Dan Dia Allah SWT yang mengendalikan segala urusan orang-orang yang salih dengan memberikan pertolongan kepada mereka”. (al-A’raf: 196)
Kalau kita kembalikan pada pengertian dasarnya, istilah tasawuf maknanya bisa dekat, bisa juga kekasih, bisa berarti bimbingan, atau juga pemeliharaan. Jadi pengertian wali itu adalah orang yang dekat dengan Allah SWT, karena kedekatannya itu pula maka ia layak menjadi kekasih Allah SWT, karena telah dekat dan sekaligus menjadi kekasih-Nya, maka ia pun layak mendapat bimbingan dna juga pemeliharaan dari Allah. Konsep kewalian bisa dijelaskan dari sudut relasi, yaitu relasi antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Apakah dari sudut relasi itu juga dapat menjelaskan adanya tingkatan-tingkatan di antara para wali Allah SWT itu? Kalau berbicara tentang relasi, kondisi dan intensitas setiap manusia itu berbeda-beda.
Dalam al-Qur’an
B. Pembagian Wali
Secara konseptual, terdapat berbagai tingkatan pada para wali, yaitu :
1. Walayatul Haqqullah. Istilah haq yang disandarkan kepada Allah SWT itu mengandung beberapa pengertian. Dalam istilah haq Allah SWT itu tercermin pengertian pesan, ajaran dan perintah Allah SWT. Karenanya haqqullah bisa diartikan dengan syari’ah Allah SWT. Jadi Auliya pada tingkatan ini adalah mereka yang sudah mampu menjalankan syari’at Allah SWT secara kaffah, yaitu secara komprehensif dan istiqomah. Jadi tidak ada konsep kewalian yang justru mengabaikan aspek syari’ah. Kecuali itu, istilah haqqullah juga mengacu pada realitas wujud yang tertinggi. Jadi kewalian dalam tingkatan ini adalah mereka yang sudah mampu berintegrasi dengan realitas yang tertinggi, yaitu Allah SWT, pengertian berintegrasi ini tentunya harus mengacu pada apa yang dikonsepsikan oleh para sufi itu sendiri.
2. Waliyullah. Tidak digandengkan dengan istilah haq lagi. Tingkatan ini untuk menggambarkan bahwa sang wali itu, bukan berarti tidak lagi berpegang pada syari’at. Tetapi perhatian dan orientasinya sudah pada substansi, bukan lagi berkutat pada aspek formal dari syari’ah. Jadi dia sudah sampai pada tingkat merasakan inti atau substansi dari syari’at. Dalam konteks ini, Imam asy-Syatibi mengistilahkan dengan hikmah syari’at. Orang pada level ini adalah mereka yang sudah mencapai ghaayatush-shidqi fil-‘ibadah, pucak kesungguhan dalam beribadah. Dia sudah mencapai taraf optimal dalam kualitas ibadahnya. Ia sudah jauh melampaui batas minimal.
3. Al-Munibbuun. Yaitu orang-orang yang sudah senantiasa mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah SWT. Dia sudah berhasil menekan egonya, sudah dapat menekan kepentingan-kepentingan pribadinya, persepsinya tentang hal-hal duniawi sudah jernih. Orang seperti ini sudah mendekati karakter malaikat.
4. Al-Mufariduun. Pada level ini berarti sang wali sudah mencapai taraf menyendiri bersama Allah SWT untuk dapat memahami tingkatan ini mungkin kita perlu analogi. Misalnya ada yang hendak bertemu kepada seseorang yang sudah dikenalnya. Kalau yang masih tergolong ‘am, kehendaknya itu
5. Khatamul Walaayah. Ini juga disebut kutubul auliya, poros tertinggi dari kewalian. Kalau pada tingkatan ini bukan sekedar berduaan. Kalau berduaankan masih bisa dibedakan antara dirinya dengan Tuhannya. Jadi masih ada pemisah, kita dan Dia, atau kita dengan Engkau. Sementara pada tingkatan ini antara hamba dan Tuhan itu sudah benar-benar menyatu, tidak ada lagi pemisah.
KESIMPULAN
Kalau melihat dari pembahasan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa untuk mengetahui wali itu terlalu sulit bagi kita, kita mungkin hanya bisa mengetahui sekedar mengenai konsep, sehingga dari konsep itulah kita bisa mengenalnya secara teori yaitu walayatul haqqullah, waliyullah, al-muniibuun, al-muqarrabuun, al-mufarriduun, khatamul walaayah. Tapi semua itu tidak terlepas dari syar’iah, artinya meskipun mendapat kedudukan yang bagaimana pun tingginya di sisi Allah SWT masih tetap menjalankan ajaran syari’ah, karena di dalam al-Qur’an wali adalah orang yang bertaqwa dan beriman.
Contoh Nabi, meskipun beliau sudah di ma’fu (ma’shum) dari segala dosanya, tapi ibadahnya tak mau kalah dengan orang-orang yang bertaubat nasuha, karena hal semacam itu beliau lakukan untuk memuji atau bersyukur pada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Burnawi, Ahmad Najib, Tarekat Tanpa Tarekat, PT. Serambi Ilmu Semesta,
Massignon, Louis, dan Mustafa Abdur Razid, Islam dan Tasawwuf, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001.
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, PT. Bina Ilmu, Pare-Pare, 1976.
[1] Dr. Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, PT. Bina Ilmu, Pare-Pare, 1976, hlm. 117.
[2] Ahmad Najib Burnawi, Tarekat Tanpa Tarekat, PT. Serambi Ilmu Semesta,
[3] Louis Massignon dan Mustafa Abdur Razid, Islam dan Tasawwuf, Fajar Pustaka Baru,
Belum ada komentar untuk "KEWALIAN DALAM DUNIA TASAWUF"
Post a Comment
TULIS DISINI....