PENDAHULUAN
Periode taqlid ini bermulai sekitar pertengahan abad IV H / X M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politk, intelektual, moral, dan sosial yang mempengaruhi kebangkitan umat islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan upaya perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan cara bertaqlid. Semua pengaruh yang mendatang itu menolak kemerdekaan berpikir dan menyeretnya kepada taqlid, menjadi pengikut Abu Hanifah, pengikut Malik, pengikut asy syafi’i atau pengikut Ahmad saja.
Mereka membatasi diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-madzhab itu. Kesungguhan mereka ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan perkataan imam-imam saja, bukan lagi untuk mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh karenanya berhentillah masa tasyri’ dan bekulah masa pembinaan hukum, padahal masa selalu terus berputar, setiap detik baru terjadi transisi, setiap transisi membawa peristiwa yang menimbulkan masalah baru yang membutuhkan hukum.
PEMBAHASAN
A. Faktor terhentinya kegiatan ijtihad
Faktor-faktor yang terpenting yang menyebabkan terhentinya kegiatan ijtihad, dan menetapi bertaqlid kepada para ulama terdahulu, diantaranya yaitu[1] :
1. Terbagi-baginya Daulah Islamiyah kedalam sejumlah kerajaan-kerajaan yang saling bermusuhan para rajanya, penguasanya dan rakyatnya.
Hal ini menyebabkan mereka selalu sibuk dengan peperangan-peperangan, saling menfitnah, memasang berbagai perangkap, tipu daya dan pemaksaaan dalam rangka meraih kemenangan dan kekuasaan. situasi dan kondisi seperti ini melahirkan masa krisis umum sehingga semangat keilmuan dan kesenian menjadi lemah dan mandek. Dan krisis ini mempengaruhi terhentinya gerakan ijtihad pembentukan hukum.
2. Pecahnya imam-imam mujtahidin kepada beberapa madzhab yang masing-masing mempunyai corak sendiri.
Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan mempunyai khittah tersendiri pula. Dan setiap aliran hukum ini mempunyai pengikut dan kader-kader yang berusaha mencurahkan segenap perhatiaanya dalam rangka membela dan memenangkan madzhabnya masing-masing. Misalnya adakalanya dalam rangka membela dan memperkuat madzhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi yang melegitimasi kebenaran madzhabnya sambil mengedepankan kekeliruan madzhab lain yang dinilai bertentangan dengan madzhabnya.
Disamping itu juga adakalanya dengan cara menyanjung-nyanjung para tokoh ulama dan pemimpin mereka serta menonjol-nonjolkan kemampuan dan kehebatan mereka. Kondisi inilah yang membuat para ulama madzhab sibuk dan membelokkan mereka dari dasar-dasar pokok tasyri’ yaitu Alquran dan Sunnah. Dan tak seorangpun dari mereka yang mau merujuk kembali pada Alquran dan Hadis, kecuali hanya sekedar untuk memperkuat madzhab imamnya walaupun dengan cara menyimpang dalam memahami dan menakwilkan. Dengan demikian, kepribadian seorang alim ulama tenggelam dan hancur kedalam kepentingan golongannya dan semangat kemerdekaan berpikir menjadi mandek dan mati. Orang-orang alim menjadi seperti orang-orang awam saja yakni sebagai pengikut-pegikut yang bertaqlid.
3. Umat islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan.
sementara disisi lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar seseorang tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli dibidangnya. Dengan demikian terjadilah krisis pembentukan hukum dan ijtihad dengan demikian praktek ijtihad dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai keahlian. Orang-orang bodoh mempermainkan nash-nash syariat, mereka berani berfatwa kepada umat islam, maka munculah berbagai macam fatwa hukum yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini juga diikuti dengan munculnya berbagai keputusan hukum di peradilan-peradilan sehingga terjadilah keputusan hukum di peradilan yang bertentangan dalam kasus yang sama dalam satu negri. Semua ini terjadi dikalangan umat islam dan semuanya dianggap sebagai bagian dari hukum-huum syariat. Situaisi dan kondisi ini membuat para ulama merasa khawatir sehingga mereka mengambil sikap kebijaksanaan hukum dengan cara menyatakan menutup pintu ijtihad dan mengikat para mufti (ahli fatwa) dan hakim supaya tetap saja mengikuti ketetapan-ketetapan hukum para imam mujtahid terdahulu. Inilah cara mereka mengatasi atau mengobati krisis pembentukan hukum islam dengan cara yang bisa melahirkan sikap dan masa kebekuan (statis). Ini terjadi pada akhir abad IV H.
4. Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka, sehinga tidak bisa sampai pada level orang-orang yang melakukan ijtihad.
Dikalangan mereka terjadi saling menghasut dan egois mementingkan diri sendiri. Kalau salah seorang diantara mereka berusaha mengetuk pintu ijtihad yang berarti akan membuka pintu kemasyhuran bagi dirinya dan merendahkan rekan-rekan lainnya. Kalau ia berani berfatwa mengenai suatu masalah menurut pendapatnya, maka para ulama lainnya meremehkan pendapatnya dan merusak fatwanya dengan berbagai macam cara. Oleh karena itu, para ulama berusaha untuk tetap menjaga diri dari adanya tipu daya dari rekan-rekannya dan dari celaan mereka dengan mengatakan bahwa dia itu tukang taqlid dan tukang kutip saja dan bukanlah seorang mujtahid, dengan demikian semangat ijtihad mandek dan mati sehinggga tidak ada yag lahir dan terangkat tokoh-tokoh dalam dunia fikih Islam. Dan kepercayaan ulama terhadap dirinya sendiri menjadi lemah dan kurang. Demikian pula, kepercayaan masyarakat kepadanya juga lemah dan kurang sehingga dengan demikian mereka bertaqlid kepada madzhab-madzhab imam mujtahid terdahulu saja.
B. Tingkatan-tingkatan masa taqlid dan jumud
Para ulama tidak sekaligus meninggalkan ijtihad, melainkan berangsur-angsur karena itu dapatlah kita membedakan antara masa sebelum pertengahan abad 7 hijriyah (tahun 656 H) yaitu masa ketika jatuhnya kerajaan Abasiyyah di Baghdad dengan terbunhnya al Mu’tashim, dengan masa sesudahnya. Dalam masa itulah para ulama menghadapkan dirinya kepada taqlid.
Para imam telah meninggalkan warisan yang begitu berharga dan sangat besar, yaitu hukum-hukum yang diperlukan oleh kejadian-kejadian. Pemerintah pun dalam menetapkan seseorang untuk menjadi hakim dan mufti dan kedudukan lainnya mengambil dari orang-orang yang mengikuti madzhab, baik di Timur maupun di Andalus dan Maghribi. Para fuqaha’ masa taqlid itu sepakat meninggalkan ijtihad, adakala karena aneka ragam fatwa yang bersimpang siur tak terkendalikan lagi, yang menyebabkan para fuqaha’ menjauhkan diri dari ijtihad, dan adakala karena sudah malas untuk berijtihad, dan adakalanya pula memang pahamnya sudah tertumbuk pada pendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Mulai saat itu fiqh Islam sudah bercerai dari sifat amaliyah yang praktis berpindah berjalan pada cara yang teoritis yang jauh dari segi-segi praktek kehidupan, dan merupakan bentuk yang membeku, tidak mau menampung masalah yang hidup dalam kehidupan umat.
Dalam pada itu, dalam masa ini masih terdapat fuqaha’ yang mempunyai pembahasan-pembahasan yang berharga dan kadang-kadang mereka menyalahi pendapat-pendapat imam. Dan pada masa itu masih terdapat mujtahid muqayyad atau mujtahid madzhab. Juga para fuqaha’ pada masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah serta mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda-beda dari para imam dalam sesuatu masalah
Ringkasnya, masa ini adalah masa menyusun fiqh secara menetapkan masalah2nya yang baru, menurut dasar yaang telah ditancapkan oleh imam2 mereka dan mentarjihkan menguatkan suatu pendapat dari pendapat 2 yang berbeda-beda.
C. Usaha-usaha ulama di zaman taqlid
Faktor-faktor yang telah kita ungkapkan di atas yang menyebabkan ulama berhenti untuk berijtihad mutlak dan mengambil hukum-hukum syariat dari sumber-sumber utamanya, tidak bisa membuat mereka berhenti pula untuk mengerahkan tenaga mereka dalam melakukan legislasi di dalam rena mereka sendiri (madhab yang mereka anut sendiri)[2]
Dengn ini, maka ulama dikalangan setiap madzhab itu dibagi-bagi atas beberapa tingkatan :
a. Tingkatan pertama : Ahlul ijtihad fil madzhab
Golongan ini berijtihad dalam menghadapi kejadian-kejadian baru dengan berpegang kepada pendapat-pendapat yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid mutlak. Mereka ini terdiri dari ashab, pengikut para imam. Dan kadang-kadang mereka menyalahi pendapat imam dalam sesuatu furu’ dalam pada itu mereka tidak keluar dari dasar-dasar yang telah ditetapkan oleh imamnya.
Termasuk dalam tingktani ini :
1. Al Hasan ibn Zaiyad, dari madzhab Hanafi
2. Ibnul Qasim dan ashabnya, dari madzhab Maliki
3. Al Muzani dan al Buwaithi, dari madzhab Syafi’i
4. Al Atsram dan al Mawarzi, dari madzhab Hanbali
Beliau-beliau ini mempunyai kemampuan dan kesanggupan dalam mengistimbathkan hukum dari sumber pertama, akan tetapi mereka beristimbath sesuai dengan istimbath imam-imam mereka. Ada yang mengatakan, bahwa Muhammad ibn Hasan, Abu Yusuf dan Zufar adalah mujtahid mutlak, hanya saja mereka mencampurkan madzhab mereka dengan madzhab Abu Hanifah, yang menjadi gurunya. Sebenarnya Mereka sama tingkatannya dengan Asy Syafi’i, sebagai mujtahid mutlak.
b. Tingkat kedua : Ahlul ijtihad fil masail
Golongan ini berijtihad dalam masalah-masalah yang tidak diijtihadkan oleh imam, dengan berpedoman kepada dasar-dasar tasyri’ atau istimbath yang dipegangi oleh imam. Golongan ini seperti Al Khashaf, Ath Thahawi dan Al Karakhi dari golngan Hanafiyah, Ibnul Arabi dan Ibnu Rusydi dari golongan Malikiyah, Al Ghazali dan Al Isfarayini dari golongan Syafi’iyah dan Al Baghdadi dan Al Hurawi dari golongan Hanbaliyah.
c. Tingkat ketiga : Ahlut tarjih
Golongan ini hanya membandingkan riwayat-riwayat yang diriwayatkan dari imam, lalu mentarjihkan salah satunya, baik dari segi riwayat ataupun dari segi dirayat. Umpamanya mereka berkata : “ ini lebih shahih riwayatnya, lafadz ini lebih utama kita menerimanya. Riwayat ini lebih kuat , atau lebih aula, atau lebih sesuai dengan qiyas atau lebih memenuhi kemaslahatan masyarakat”. Di antara golongan ini yaitu Al Qaduri dari golongan Hanafiyah.
d. Tingkat keempat : ahlu takhrij
Golongan ini tidak berijtihad dalam mengistimbathkan hukum. Mereka hanya membatasi diri dalam menafsirkan pendapat yang kurang jelas. Mereka menentukan mana yang dikehendaki dari hukum yang mempuyai dua pengertian. Golongan ini seperti Al Jashash dari golongan Hanafiyah, Khalil dari golongan Malikiyah, An Nawawi dari golongan Syafi’iyah dan Ibnu Qudamah dari golongan Hanbaliyah.
e. Tingkat kelima: ahlu taqlid
Golongan ini mempunyai kesanggupan membedakan riwayat yang nadir dengan yang lahir, antara yang kuat dengan yang lemah, mereka ini ialah orang-orang yang menyusun kitab-kitab matan, yang memasukkan pendapat-pendapat yang diterimanya saja kedalam masalah-masalahnya.[3] Mereka yang termasuk dalam tingkat ini antara lain ialah pengarang kitab matan-matan yang terkenal dan mu’tabar dikalangan madzhab Abu Hanifah, seperti pengarang kitab al Kanz dan al-Wiqyah.
PENUTUP
Masa ini adalah periode dimana semangat ijtihad para ulama sudah pudar dan mandek. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’, dalam rangka menggali hukum-hukum dari teks Alquran dan Sunnah dan semangat mengistimbath hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dari nash dengan menggunakan dalil-dalil syara’ sudah pudar dan mandek. mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
· Hasbi, Muhammad ash Shiddieqy, pengantar ilmu fiqh, ( Jakarta : PT
Bulan Bintang ), 1993, cet 8
· Sjinqithy, A djamaludin, sejarah legislasi islam, ( Surabaya : Al Ikhlas ),
1994, cet 1
· Wahab, Abdul Khallaf, Sejarah Pembentukan & Pembinaan Hukum
Islam,terj. ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada )
MASA TAQLID DAN JUMUD
MAKALAH INI DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS
MATA KULIAH TARIKH TASYRI’
,
Dosen Pembimbing :
Drs. Muntaha Azhari, MA
Disusun oleh :
ANGGA PURNAMA
DHYIA ULHAQ
IMAM BAIHAQI
FAKULTAS SYARIAH III
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU ALQURAN (IPTIQ) JAKARTA
[1] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan & Pembinaan Hukum Islam, terj, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) hal 114-117
[2] A. Sjinqithy djamaludin, Sejarah Legislasi Islam, (Surabaya : Al Ikhlas), hal 133, 1994, cet 1
[3] Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, pengantar ilmu fiqh, ( Jakarta : PT Bulan Bintang ), 1993, cet 8 hal 86
Belum ada komentar untuk "TAQLID"
Post a Comment
TULIS DISINI....