KUMPULAN MAKALAH, SKRIPSI, & TIPS DAN TRIK

Download Kumpulan Makalah Gratis, Kumpulan Skripsi Gratis, Kumpulan Proposal Skripsi Gratis, Kumpulan Paper Gratis, Kumpulan Kliping Gratis, Kumpulan Makalah Pendidikan, Kumpulan Makalah Teknik Informatika, Kumpulan Makalah Sosiologi, Kumpulan Makalah Ekonomi, Kumpulan Makalah Ilmu Pengetahuan

Download Kumpulan Makalah Gratis, Kumpulan Skripsi Gratis, Kumpulan Proposal Skripsi Gratis, Kumpulan Paper Gratis, Kumpulan Kliping Gratis, Kumpulan Makalah Pendidikan, Kumpulan Makalah Teknik Informatika, Kumpulan Makalah Sosiologi, Kumpulan Makalah Ekonomi, Kumpulan Makalah Ilmu Pengetahuan

PERKEMBANGAN HADITS KONTEMPORER

A. Perkembangan Ilmu Hadits

Pada dasarnya, hampir semua kajian keislaman sentral yang ada saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Hanya saja bentuknya masih sangat sederhana dan tidak tersusun secara sistematis seperti masa sekarang ini. Begitu pula halnya dengan hadits sebagai suatu cabang ilmu. Dalam sudut pandang ini secara praktis Ilmu Hadis sesungguhnya sudah dikenal semenjak Nabi masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih sangat terbatas, karena semua kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan mudah dapat berpulang langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya.

Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu hadis mempunyai obyek sentral dalam pengkajiannya. Ilmu yang populer dengan sebutan Ilmu Musthalah Hadis ini memfokuskan pusat kajiannya pada penelitian otentisitas suatu Hadis. Meski masih sangat terbatas dan belum terdapat acuan metodologinya, peristiwa pengecekan otentisitas hadis sesungguhnya telah pernah terjadi pada masa Nabi. Hal ini bisa kita lihat pada suatu peristiwa dimana Umar bin al-Khattab memperoleh informasi bahwa Nabi menceraikan semua istri beliau. Umar pun kaget dan langsung mengecek kebenaran matan hadis itu bukan mengecek siapa yang menyampaikan hadis itu karena para sahabat semuanya dikenal adil dan ternyata hadis itu salah. Kekagetannya itu tentu saja karena Umar merasa bahwa informasi tersebut janggal. Karena itulah, ia langsung mengecek kebenaran informasi ini dan memang berita itu tidak benar.[1]

Kejadian ini memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita dari Nabi dapat dengan mudah dikonfirmasikan langsung kepada Nabi, sehingga dapat diketahui apakah berita itu valid atau justru sebaliknya. karena para sahabat bisa langsung bertanya kepada nabi apakah hadis itu valid atau tidak berasal dari nabi. Salah satu faktor tidak berkembangnya kajian hadis pada zaman nabi juga dikarenakan adanya larangan penulisan hadis meskipun nantinya larangan ini dihapus[2]. Hal ini jugalah yang nantinya dijadikan kambing hitam oleh para orientalis sebagai sebuah alasan untuk menyatakan bahwa tidak ada satupun hadis yang otentik dari Nabi khususnya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam.

Beberapa penyebab yang menyebabkan tidak populernya pembukuan Hadis-hadis itu ke dalam suatu kitab, antara lain, (1) umumnya Hadis-hadis yang berada dalam memori hafalan para ulama yang menyandang gelar âdil (berkarakteristik moral baik) dan tsiqah (terpercaya) dianggap masih otentik tanpa perubahan; (2) faktor-faktor pendukung untuk upaya pembukuan belum terasa diperlukan; dan (3) adanya larangan menuliskan (baca: pembukuan) apapun selain al-Qur’an.

B. Masa Keemasan Ilmu Hadits

Ilmu Hadits mengalami perkembangan yang sangat luar biasa pada awal-awal abad ke-3 Hijriah. Sayangnya, perkembangan itu masih berkutat pada upaya untuk mengetahui Hadis yang bisa diterima (al-maqbul) dan Hadis yang tertolak (al-mardud). Karenanya, pembahasan seputar periwayat (al-rawi) dan Hadis yang diriwayatkan (al-marwi) selalu diacu berdasarkan sudut pandang itu. Perkembangan ini berupa pembukuan, yang sesungguhnya tidak lepas dari perkembangan yang terjadi pada pembukuan matan Hadis, yang merupakan proyek Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Ulama Hadits yang terkenal pada masa ini yaitu al-Syafi’ie yang terkenal dengan kitabnya Al-Risalah. Selain al-Risalah, karya al-Syafi’i lainnya yang juga memberikan perhatian terhadap ilmu Hadis adalah kitab al-Umm. Ciri dari buku ini bercampurnya kajian hadits dengan kajian disiplin lainnya, seperti ilmu fikih dan ushul fikih. Ciri lain yang juga terdapat dalam kedua karya ini adalah bahwa ilmu Hadis baru dibahas sebatas kesesuaian dan keterkaitan antara ilmu Hadis dengan ilmu lain yang kebetulan dikaji secara bersamaan dalam kedua kitab itu.

Dari pemotretan di atas, secara umum yang menjadi ciri khas kajian ilmu Hadis pada abad-abad awal, khususnya masa al-Syafi’I :

  1. Ilmu Hadis dijadikan sebagai alat untuk memilah antara Hadis yang shahih dengan yang saqim;
  2. Ilmu Hadis merupakan alat bantu dalam memahami Hadis; dan
  3. Menkanter serangan yang dilancarkan kalangan munkir al-sunnah, meskipun pada masa-masa ini belum cukup populer.

Pada perkembangan selanjutnya, ilmu hadits sudah terpisah dengan disiplin ilmu yang lain. Begitu pula dengan disiplin ilmu-ilmu yang lain sudah berdiri sendiri dan tidak tercampur dengan disiplin ilmu yang lain. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-4 Hijriah. Ilmu Hadis telah menjadi suatu disiplin ilmu yang mapan. Perkembangan ini terjadi akibat semakin marak lahirnya disiplin-disiplin ilmu baru dan persinggungan budaya dengan bangsa lain yang kian mendorong upaya pembukuan masing-masing disiplin ilmu itu sendiri.

Dalam disiplin ilmu Hadis, perkembangan ini ditandai dengan lahirnya karya al-Qadli Abu Muhammad bin al-Hasan bin Abd al-Rahman bin Khalan bin al-Ramahurmuzi (w. 360 H), Al-Muhaddis al-Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’i, yang memuat beberapa cabang penting dari ilmu Hadis. Namun upayanya itu belum maksimal, karena masih banyak cabang penting lainnya dalam ilmu Hadis yang belum diapresiasi dalam karya itu.

Selanjutnya, ulama yang banyak memberikan andil besar dalam ilmu hadits yaitu Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H). Beliau banyak menulis buku-buku yang berkaitan tentang ilmu hadits yang selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama-ulama sesudahnya. Perkembangan kajian ilmu Hadis mencapai puncaknya ketika Abu Amr Usman bin Abd al-Rahman al-Syahrazuri. Nama yang terakhir disebut ini lebih populer dengan nama Ibnu Shalah (w. 643 H) yang menulis karya ilmiah sangat monumental dan fenomenal, berjudul Ulum al-Hadis, yang kemudian kondang dengan sebutan Muqaddimah Ibn al-Shalah. Kitab ini merupakan upaya yang sangat maksimal dalam melengkapi kelemahan di sana-sini karya-karya sebelumnya, seperti karya-karya al-Khatib dan ulama lainnya. Dalam kitabnya itu, ia menyebutkan secara lengkap 65 cabang ilmu Hadis dan menuangkan segala sesuatunya dengan detail. Mungkin ini pula yang menyebabkan kitab ini tidak cukup sistematis sesuai dengan judul babnya.

C. Gejolak Perkembangan Kajian Hadits Kontemporer dan Corak Kajiannya

Kajian hadits sempat mengalami masa kevakuman sekitar 6 abad (abad 13-19 H). Namun, kembali menggeliat pada saat seorang orientalis Yahudi bernama Ignaz Goldziher, kelahiran Hungaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M, menggoncangkan dunia penelitian hadits dengan menerbitkan sebuah buku berjudul Muhammadenishe Studien (Studi Islam).[3] Dalam buku ini, ia menolak kriteria dan persyaratan otentisitas hadis seperti yang telah ditetapkan ulama-ulama hadits terdahulu[4]. Ia juga membahas sebuah metode baru untuk menentukan valid tidaknya sebuah hadis yang lebih menitik beratkan pada metode kritik matan.

Pada dasarnya, “Kritik Hadits” yaitu menyeleksi otentisitas berita yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. telah dimulai oleh para ulama. Bahkan hal ini pun telah dilakukan juga sejak masa Nabi Muhammad SAW.maupun masa sahabat. Namun, hal tersebut masih terbatas pada kritik matan hadits.

Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oeh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan. Hanya saja, metode kritik matan yang ditawarkan oleh Goldziher ini berbeda dengan kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosiolokultural, dan lain-lain. Ia mencontohkan sebuah hadits yang terdapat dalam kitab Shahîh al-Bukhârî dimana menurutnya, al-Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan. Sehingga setelah dilakukan kritik matan oleh Goldziher, hadits itu ternyata palsu.[5]

Goldziher juga orang pertama yang menuduh Az-Zuhri sebagai seorang pembuat hadis palsu. Goldziher merubah kutipan teks pernyataan al-Zuhri yang terdapat dalam kitab Ibn al-Sa’ad dan Ibn al-Asakir. Kata “ahadits” dalam pernyataan al-Zuhri yang mengatakan, “Inna haulai al-umara akrahuna ‘ala kitabah ahadits” yang sesungguhnya berbentuk definitif (ma’rifah), yaitu “al-ahadits”. Ini tampaknya bukan ketidaksengajaan Goldziher. Karena ia dengan pasti mengerti bahwa jika tidak memakai “al”, maka konsekuensi maknanya akan berbeda dengan jika memakai “al”. Pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis Nabawi yang pada saat itu sudah ada tetapi belum terhimpun dalam suatu buku. Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis Hadis yang belum pernah ada saat itu.[6]

Bukunya Muhammadenishe Studien, menjadi sebuah rujuakan utama yang harus dibaca oleh setiap orientalis dan buku ini juga diangap sakral oleh mereka sehingga kritik dan meragukan keilmiahanya harus diberangus dari dunia.

Setelah Goldziher meninggal pada 1921, pengkajian hadits oleh orientalis dilanjutkan oleh Joseph Schacht. Karyanya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya yang berjudul The Origins Of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya ini, ia menyajikan hasil kajian tentang hadits Nabawi, dimana ia berkesimpulan bahwa hadits nabawi terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga Hijriyah.[7]

Schacht juga terkenal dengan teorinya yaitu Teori “Projecting Back” yaitu memproyeksikan periwayatan hadits kepada tokoh-tokoh di belakang. Ia menyatakan bahwa isnâd, yakni rangkaian para periwayat hadits yang menjadi sandaran kesahihan sebuah matan hadits memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang. Menurutnya isnâd berawal dari bentuk yang sederhana , lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran fiqh klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada nabi. Inilah yang dinamakan teori projecting back.[8]

D. Teori Common Link G.H.A. Juynboll

Kritik hadits yang menjadi corak utama kajian hadits kontemporer tidak berhenti sampai disitu saja. Lebih-lebih dari kalangan orientalis. Mereka terus melakukan penelitian dan pengkajian. Selanjutnya, muncul seorang orientalis Belanda yang bernama Gautier H.A. Juynboll yang terkenal dengan teori common link-nya. Sebenarnya, Juynboll bukanlah orang yang pertama membicarakan fenomena common link dalam periwayatn hadits. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan penemu teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht seraya berkata bahwa dialah pembuat istilah common link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins Of Muhammadan Jurisprudence.[9]

Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai. Teori common link dengan metode analisis isnâd-nya tidak lain adalah sebuah metode kritik sumber (source critical method) dalam ilmu sejarah. Metode Schacht yang dikembangkan Juynboll ini kemudian dielaborasi lebih rinci oleh Motzki dan menjadi metode analisis isnâd-cum-matn. Secara keseluruhan, metode yang sangat terkait dengan problem penanggalan hadits ini merupakan salah satu metode dalam pendekatan sejarah (historical approach).

Common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang dan lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi kepada satu atau lebih muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayatan tertua yang disebut dalam berkas isnâd yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnâd hadits itu mulai menyebar untuk yang pertama kalinya maka disanalah ditemukan common link-nya.[10]

E. Sanggahan terhadap Orientalis

Gencarnya kritikan terhadap ilmu hadits dari para orientalis tentunya tidak serta merta membuat para ulama Islam berdiam diri. Tersebutlah sekurang-kurangnya ada tiga ulama kontemporer yang sudah menangkal teori-teori Goldziher dan Schact. Mereka adalah Prof. Mustafa a-Siba’i dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (1949), Prof. Dr. Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin (1964). Keduanya secara terpisah menyanggah argumen-argumen Goldziher. Puncaknya, adalah tokoh yang selalu kami juluki sebagai “Pendekar dari India”, Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature (1967) yang secara komprehensif membantah teori-teori orientalis tentang Hadis Nabawi, terutama Goldziher dan Schact.

Al-Siba’i dengan karyanya dan Ajjaj al-Khatib juga dengan karyanya, meskipun secara terpisah, keduanya telah menangkis pikiran-pikiran orientalis Ignas Goldziher yang meragukan otentisitas Hadis dan membantah pendapat-pendapat yang dilontarkan Goldziher tersebut secara ilmiah. Sedangkan Azami adalah orang yang membabat habis semua argument dan pikiran-pikiran orientalis yang berkaitan dengan kajian otentisitas Hadis. Secara terpadu Azami telah mematahkan argumen-argumen mereka dan meruntuhkan teori-teorinya. Bukunya yang berjudul Studies in Early Hadith Literature, seakan-akan menelanjangi para orientalis. Mereka pun dibuat tidak berkutik karena argument-argumen yang ditulisnya di buku tersebut memang benar-benar vaid karena berdasrkan penelitian yang mendalam dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Karena keahliannya inilah, dunia Islam mengakui keunggulan Azami sebagai seorang ahli hadits yang hebat dan tangguh. Wajar jika ia menerima Hadiah Internasional King Faisal dalam Studi Islam yang diberikan kepadanya pada tahun 1400 H/1980 M. Sementara kalangan orientalis sendiri juga terpaksa bertekuk lutut dan harus mengakui kehebatan Azami. Tak kurang seorang Prof. A.J. Arberry, tokoh orientalis terkemuka dari Universitas Cambridge, Inggris, mengungkapkan secara terbuka kekaguman dan pengakuannya atas keilmiahan, keotentikan, dan ketinggian standar ilmiah karya Azami itu. [11]

F. Corak Hadits Kontemporer Lainnya

Selain kritik hadits yang menjadi corak utama kajian hadits kontemporer, reorientasi istilah-isitilah teknis yang dipakai dalam penyebaran Hadis (tahammul al-Hadits) juga menjadi corak lain dari kajian hadits kontemporer. Munculnya kajian ini disebabkan karena adanya pemahaman bahwa penyebaran hadis tidak hanya dilakukan melalui lisan namun juga melalui tulisan. Memang pada masa-masa sebelumnya banyak kalangan yang menggangap bahwa hadis itu tersebar hanya melalui lisan, hal ini tidak lepas kerena adanya shigah-shigah tahammul hadis yang menunjukan transmisi hadis seolah-olah hanya dilakukan dengan lisan mislanya kata-kata Akhbarana, Haddatsana, dll., yang menujukan bahwa tranmisi hadis itu dilakukan dengan lisan (oral transmission). Padahal sebenarnya tidak demikian. Azami, misalnya, membuktikan bahwa istilah-istilah itu juga membuktikan adanya penyebaran Hadis secara tertulis. Beliau juga membuktiakan bahwa hadis telah ditulis oleh para sahabat sejak zaman nabi sehingga missing link yang terjadi pada penulisan hadis dapat disanggah.[12]

Corak lain yang tentunya tidak bisa dikesampingkan yaitu metode Takhrij Hadits. Corak ini menjadi corak yang paling unik dari seluruh ciri kajian Hadis kontemporer. Saat ini, telah muncul metode takhrij yang mudah dan sederhana sehingga memudahkan bagi siapa saja yang berkeinginan melakukan takhrij terhadap sebuah hadis, dapat melakukannya dengan mudah. Meskipun tidak mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang hadits, asalkan ditunjangan dengan kitab-kitab penunjang yang memadai. Memang corak yang satu ini dulunya cuma populer dikalangan ulama hadits. Namun, sekarang ini orang yang pengetahuan hadits-nya pas-pasan pun sudah mengenal corak kajian ini. Tentunya hal ini tidak lepas dari kegigihan DR. Mahmud Thahan yang berjasa mengembangkan kajian takhrij hadits dengan bukunya yang terkenal Ushul Takhrij wa Dirasatul Asanid.

KESIMPULAN

Ø Perkembangan ilmu hadits mencapai masa keemasan mulai abad ke-3 Hijriyah, dengan ulama yang terkenal di masanya yaitu : Imam Al-Syafi’I, al-Ramahurmuzi, al-Khatib al-Baghdadi, dan Ibnu Shalah.

Ø Para orientalis yang berpengaruh dalam kajian hadits diantaranya : Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan G.H.A. Juynboll.

Ø Corak kajian Hadits kontemporer yaitu kritik hadits (sanad & matan), takhrij hadits, metodologi tahammul hadits.

DAFTAR RUJUKAN

Azami, Muhammad Mustafa, Prof.Dr., Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Alih bahasa H.Ali Mustafa Ya’qub, M.A. ( Pustaka Firdaus : Jakarta ). 1994.

Al-Qaththan, Syiekh Manna’, Mabâhits Fî Ulûm Al-Hadîts. terj. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Alih bahasa Mifdhol Abdurrahman, Lc. (Pustaka Al-Kautsar : Jakarta). 2008.

Masrur, Ali, Dr., Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, (LKiS : Yogyakarta),2007.

Thahan, Mahmud, Dr., Ilmu Hadits Praktis. Alih Bahasa Abu Fuad. (Pustaka Thariqul Izzah : Bogor). 2009.

Ya’qub, Ali Mustafa, Prof.KH, M.A., Kritik Hadits, (Pustaka Firdaus : Jakarta), 2008.




[1] Ali Mustafa Ya’qub, Prof.KH, M.A., Kritik Hadits, (Pustaka Firdaus : Jakarta), 2008. Hal.1.

[2] Misalnya hadis yang dinukil oleh Prof Azami dalam bukunya Studies In Early Litelature (terjemah oleh Prof Ali Mustafa Ya’qub) dari Said bin Khudari yang berbunyi: Jangan kamu tulis ucapan-ucapanku barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur’an maka hendaknya ia menghapusnya………………. Meskipun nantinya hadis ini dinaskh dengan hadis lain. Khatib al-Bagdadi telah membahas masalah ini dengan sangat terperinci dalam kitabnya Taqyid Al-‘Ilm.

[3] Prof.KH . Ali Mustafa Ya’qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.8.

[4] Manna Al-Qatthan dalam Mabahits Fi Ulumil Hadis mengatakan bahwa syarat diterima tidaknya sebuah hadis ada lima, pertama sanadnya bersambung dari awal sampai akhir, kedua rowinya Adil, ketiga rowinya dhobit baik dhobit secara hafalan maupun tulisan, keempat tidak ada cacat/’illat dalam matannya, kelima tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih unggul. (hal.117).

[5] Prof.KH . Ali Mustafa Ya’qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.15

[6] Prof.KH . Ali Mustafa Ya’qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.10.

[7] Prof.KH . Ali Mustafa Ya’qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.20.

[8]Dr. Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi. (Lkis : Yogyakarta). 2007. Hal.2.

[9] Dr. Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi. Hal.x

[10] Dr. Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi.hal. 3.

[11] Azami, Muhammad Mustafa, Prof. Dr., Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,

( Pustaka Firdaus : Jakarta ). 1994. Hal. vii.

[12] Prof.KH . Ali Mustafa Ya’qub, M.A., Kritik Hadits, Hal.29-30.

Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Ilmu Hadits dengan judul PERKEMBANGAN HADITS KONTEMPORER. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://paper-makalah.blogspot.com/2010/01/perkembangan-hadits-kontemporer.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown -

Belum ada komentar untuk "PERKEMBANGAN HADITS KONTEMPORER"

Post a Comment

TULIS DISINI....